Oleh: W RIAWAN TJANDRAKOMPAS.com -Status hukum uang negara yang ditempatkan melalui keputusan penyertaan modal oleh pemerintah/pemerintah daerah dalam bentuk saham di BUMN yang berbadan hukum persero masih terus dijadikan polemik hukum.
Bahkan kini bukan hanya jadi wacana publik, melainkan juga sudah ada beberapa pihak yang mengajukan uji materi untuk membatalkan pengaturan yang menempatkan uang yang dikelola badan usaha milik negara (BUMN) sebagai bagian dari keuangan negara di Mahkamah Konstitusi.
Selama ini, pengaturan hukum mengenai status uang negara di BUMN didasarkan ketentuan Pasal 2 huruf g UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, yang antara lain terdapat frasa: "...termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah" yang telah menempatkan uang negara di BUMN sebagai cakupan rezim hukum keuangan negara.
Sapi perah politik
Pengaturan status hukum uang negara di BUMN, sebagaimana diatur Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara, tak lepas dari amanat Pasal 23 E UUD 1945 yang menempatkan seluruh tipologi kekayaan negara/daerah yang bersumber dari keuangan negara di bawah otoritas audit dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Konstelasi politik hukum yang mengiringi proses amandemen UUD 1945 telah memberikan pengaruh signifikan terhadap upaya penguatan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri. Penguatan kedudukan BPK dalam konstitusi yang dijabarkan dalam UU No 15/2006 didasarkan atas paradigma untuk mengamankan dan mengembalikan aset-aset negara yang cukup banyak yang telah berpindah tangan ke tangan kekuasaan oligarki politik yang bersenyawa dengan kekuasaan oligarki ekonomi di negeri ini.
Mencermati sejarah pengaturan mengenai status hukum uang negara di BUMN sebenarnya sejak berlakunya UU Keuangan Negara pada masa Hindia Belanda yang dikenal dengan Indonesische Comptabiliteit Wet, yang kemudian diubah jadi UU Perbendaharaan Indonesia, telah menganut definisi luas terhadap makna keuangan negara yang menempatkan uang di BUMN sebagai cakupan rezim hukum keuangan negara.
Hal itu berarti apa yang diatur dalam UU Keuangan Negara saat ini sudah memiliki latar belakang historis yang sangat kuat.
BUMN sering dijadikan arena transaksi dan negosiasi kepentingan politik antara penguasa dan pengusaha yang membahayakan keselamatan uang negara. Buruknya manajemen BUMN di masa lalu, ditambah rendahnya kapasitas institusi-institusi bisnis negara itu dalam menginternalisasikan tata kelola perusahaan yang baik, telah membawa uang negara yang dipisahkan dengan semangat menambah penghasilan negara untuk kemakmuran rakyat tersebut ke dalam lorong- lorong gelap siklus rente ekonomi-politik.
Selama ini BUMN juga sering dijadikan sapi perah politik, menyebabkan kerugian keuangan negara dalam jumlah fantastis. Tengoklah kasus yang muncul di beberapa BUMN besar, seperti di PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) yang telah diproses hukum melalui perkara tindak pidana korupsi oleh KPK di Pengadilan Tipikor.
Jika ditinjau dari "teori sumber" uang negara yang dipisahkan dari APBN untuk diinvestasikan di BUMN, jelas bersumber dari uang rakyat di APBN. Hal itu berimplikasi harus tunduk pada mekanisme pengelolaan, pertanggungjawaban dan pemeriksaan yang sama dengan aliran uang negara lainnya.
Asas kelengkapan yang dikenal dalam hukum keuangan negara mengharuskan seluruh uang negara bersifat transparan dan tak ada yang terlepas dari pengawasan parlemen sebagai representasi rakyat. BUMN tak boleh berlindung di balik otonomi badan hukum privat untuk melucuti akses pengawasan rakyat terhadap uang negara yang dipisahkan.
Persengkongkolan korupsi politik antara elite politik, birokrat dan penguasa BUMN selama ini telah menyebabkan lemahnya internalisasi nilai-nilai tata kelola perusahaan yang baik.
Hal itulah yang menyebabkan UU No 19/2003 tetap menempatkan pengawasan atas tata kelola penggunaan uang negara di bawah otoritas BPK, yang dalam konstitusi pasca-amandemen diletakkan sebagai lembaga auditif tertinggi untuk mengawasi seluruh penggunaan negara di mana pun uang negara mengalir.
Status uang negara terhadap kekayaan negara yang dipisahkan dan ditempatkan di BUMN tak perlu menjadi halangan bagi inovasi dalam mengelola BUMN. Justru seharusnya akan menjadikan para pengelola BUMN lebih cermat dalam mengelola uang yang dihasilkan dari keringat rakyat tersebut.
Negara kesejahteraanPenempatan uang negara di BUMN dalam beberapa teori sering dibenturkan dengan independensi badan hukum korporasi yang harus diberi ruang untuk mengelola secara privat dalam mengantisipasi konsekuensi menghadapi risiko bisnis. Hal itu sering menimbulkan dilema antara independensi korporasi untuk melakukan inovasi dengan ancaman jerat UU Tipikor, karena sebagian kekayaan yang dikelolanya bersumber dari uang negara ketika korporasi menghadapi risiko bisnis.
Dalam kondisi tersebut, teori transformasi uang negara yang menganggap uang negara berubah menjadi uang privat dalam BUMN berstatus persero dianggap jadi jalan keluar untuk melepaskan jerat UU Tipikor. Cara pandang ini justru bisa menyeret terlalu jauh paradigma pengelolaan BUMN terlepas dari akar filosofi Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki landasan negara kesejahteraan dalam mengelola perekonomian di negeri ini, bukan landasan negara kapitalistik yang memisahkan negara dan rakyat dalam usaha perekonomian negara.
Pembatalan berlakunya Pasal huruf g UU No 17/2003 justru mengancam kesahihan makna Pasal 33 UUD 1945. Juga membahayakan akuntabilitas pengelolaan tak kurang dari Rp 3.000 triliun uang rakyat di BUMN!
(W RIAWAN TJANDRA, Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Editor : Erlangga Djumena