JAKARTA, KOMPAS.com - Produk intelektual bangsa Indonesia, terutama dalam bentuk publikasi ilmiah dan paten, masih tergolong minim. Bahkan, kondisi tersebut masih sekitar 25 persen dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Ahmad Dading Gunadi, Asisten Deputi Relevansi Program Riset Iptek, Kementerian Riset dan Teknologi (Kementerian Ristek), memaparkan, jumlah publikasi Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain di Asia, khususnya dengan Jepang, China, Korea Selatan, dan India.
Mengutip data Pusat Penelitian Perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Pappiptek-LIPI), Dading menjelaskan, dalam kurun waktu 2001-2010, lembaga penelitian dan pengembangan di Korea Selatan, KAIST, menghasilkan jumlah publikasi internasional terbesar, yaitu 20.183 publikasi. Lalu, diikuti lembaga JST Jepang (13.604) dan CSIRO Australia (11.611). "LIPI memiliki 417 publikasi ilmiah," kata Dading di Jakarta, Sabtu (5/1/2012).
Jumlah publikasi itu bahkan juga lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Selama kurun waktu yang sama, total publikasi nasional dan internasional dari tiga negara tetangga tersebut di atas 30.000, sedangkan Indonesia hanya menghasilkan total publikasi 7.843 atau 25 persennya.
Jumlah paten
Rendahnya pencapaian juga terlihat pada perolehan hak kekayaan intelektual (HaKI), antara lain paten.
"Peningkatan jumlah paten Indonesia yang terdaftar pada United States Patent and Trademark Office (USPTO) masih sangat kecil," kata Deputi Menteri Riset dan Teknologi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek Teguh Rahardjo.
Menurut data USPTO, permohonan paten dari Jepang ke AS selama tahun 2010 mencapai 44.811. Jerman mengajukan 12.363 aplikasi paten, sedangkan Korea Selatan 11.671. Sementara itu, paten dari Indonesia di AS pada tahun yang sama hanya enam permohonan. Pada tahun 2009, bahkan hanya ada tiga permohonan paten yang diajukan.
"Aplikasi paten dari Indonesia tidak ada peningkatan yang signifikan. Jumlahnya masih jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Jumlah paten Singapura dan Malaysia bahkan selalu mengalami peningkatan setiap tahun," urai Teguh.
Program insentif
Untuk mendorong peneliti dan perekayasa di Indonesia menghasilkan paten, Kementerian Ristek menggelar program Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional sejak tahun 2007. Program ini sempat memacu peningkatan kegiatan iptek yang ditunjukkan pada kenaikan proposal riset yang diajukan, misalnya untuk bidang pangan dari 62 menjadi 108 proposal pada tahun 2008. Namun, setelah itu justru cenderung terus menurun.
Menurunnya produktivitas ilmiah peneliti di Indonesia, menurut Dading, terlihat pada semua bidang fokus riset yang diajukan pada program insentif yang didanai Kementerian Ristek, kecuali untuk teknologi pertahanan dan keamanan. Adapun proposal insentif riset bidang pangan dan obat-obatan pada tahun 2008, masing-masing 187 dan 108. Tahun 2012, menjadi 83 dan 33 proposal.
Sementara itu, proposal riset dari 9 bidang fokus iptek pada tahun 2010 tercatat 347 proposal. Namun, pada tahun 2012 hanya 285 proposal, yang berasal dari 78 lembaga riset.
Tahun lalu, lanjut Dading, Kementerian Ristek telah memberikan pendanaan riset Rp 90 miliar untuk pelaksanaan sejumlah proposal riset tersebut. (YUN)
Anda sedang membaca artikel tentang
Publikasi Ilmiah dan Paten Indonesia Rendah
Dengan url
https://inadequatechildnutrition.blogspot.com/2013/01/publikasi-ilmiah-dan-paten-indonesia.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Publikasi Ilmiah dan Paten Indonesia Rendah
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Publikasi Ilmiah dan Paten Indonesia Rendah
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar