Sejak usia 18, Vindy dinilai sudah dewasa oleh ibunya. Mendapatkan kepercayaan dari sang ibu, ia pun kemudian semakin banyak mengetahui masalah dalam keluarga. Namun hal itu justru membuat masalah baru bagi Vindy.
"Awalnya senang dipercaya untuk tahu masalah keluarga, tapi malah membuat aku depresi. Mau membantu tapi belum bisa," ujar gadis kelahiran Jakarta ini.
Sejak merasa depresi, semangat Vindy untuk kuliah kedokteran pun seakan sirna. Dia ketinggalan pelajaran lantaran sering tak masuk kelas. Bahkan pernah hingga beberapa hari tidak keluar rumah, hanya berdiam dirundung emosi kelam di kamar tidurnya.
Tak ingin kehilangan semangat hidup, Vindy pun meminta bantuan psikiater untuk menyelesaikan masalahnya. Psikiater awalnya mengira Vindy mengalami depresi, dan memberikannya obat antidepresan.
Namun bukannya menyebuhkan, antidepresan justru membuat Vindy masuk ke episode lainnya dari gejala GB. Vindy pun merasa sangat berapi-api menjalani hari-harinya. Baiknya, dia dapat mengejar ketertinggalan kuliah dan kembali ceria seperti biasa.
"Masalahnya, saat dalam episode ini, aku tidak bisa mengontrol emosi bahagia, sehingga tidak mampu berpikir rasional. Dalam episode ini, orang bisa menghabiskan puluhan ribu untuk memberi pengemis, belanja hingga berjuta-juta untuk barang yang tidak dibutuhkan," cerita Vindy.
Dalam episode ini juga, Vindy jadi sulit untuk tidur. Karena saking bersemangat, kata dia, sampai jam 3-4 pagi seakan masih "bertenaga" untuk mengerjakan sesuatu. Sayangnya, begitu ingin mengobrol, Vindy tidak punya lawan bicara. "Teman sudah tidur semua jam segitu," sesalnya.
Jika sudah begitu, biasanya Vindy merasa terkucil dan mulai memasuki episode depresi lagi. Ia pun mulai bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dialaminya. Kembali Vindy menyambangi psikiater. Kali itu, psikiater mendiagnosis Vindy mengalami GB.
Psikiater dari Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Nurmiati Amir, mengatakan, GB merupakan gangguan otak yang ditandai dengan perpindahan mood, pikiran, energi, dan perilaku.
Seperti namanya, bipolar berarti adalah dua kutub. Artinya, orang yang terkena gangguan ini pun akan mengalami perubahan mood yang dramatis, dari mood yang sangat bahagia atau dikenal dengan mania menjadi mood yang sangat sedih atau depresi.
Perubahan ini dapat berlangsung dengan cepat tanpa adanya pengaruh keadaan tertentu. Namun, hal ini terjadi karena perubahan cepat dari kadar zat-zat kimia tertentu di otak, salah satunya dopamin. GB memiliki lima episode yang berulang, yaitu depresi, campuran, eutimik, hipomania, dan mania. Waktu setiap episode ini tidak pasti, tergantung pada seberapa baik penanganan pada penderitanya.
GB juga dipengaruhi oleh faktor keturunan atau genetika. "Faktor keturunan berperan, yaitu 60 hingga 65 persen. Namun sering kali tidak serta diturunkan dari orangtua ke anak, tetapi skip dua generasi," ungkapnya.
"Jika cepat ditangani oleh psikiatri, keluarga mengerti dan mendukung keadaan pasien, serta pasien patuh, maka episode akan berlangsung lama dan menetap di episode eutimik yaitu episode normal," papar dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Lebih berguna bagi orang lain
Belakangan Vindy tahu, ada faktor keturunan yang berperan pada GB yang dialaminya. Tak heran dia pun merasa ketidakadilan dunia berpihak padanya.
"Setelah terdiagnosis dengan gangguan jiwa, aku tentu merasa sangat sedih, menyalahkan mama papa, berpikir Tuhan tidak adil. Tapi lama-lama aku sadar, itu semua percuma, maka aku mencoba berdamai," ujarnya.
Keinginan Vindy untuk berdamai awalnya tidak mudah. Saat memasuki episode yang tak terkontrol, Vindy pun harus berkali-kali dirawat dan berkumpul dengan orang-orang yang bernasib hampir sama dengannya. Namun dari sanalah Vindy sadar, kondisinya masih lebih beruntung daripada orang-orang itu.
Vindy lantas ingin bangkit karena merasa dirinya justru sebenarnya dapat membantu mereka, orang-orang yang keadaannya lebih parah darinya. Dia pun mulai menulis blog, menceritakan kisah perjuangannya. Respon positif pun banyak berdatangan, ada yang memberi semangat, bahkan ada juga yang malah curhat di sana.
Sadar dirinya bisa berguna bagi orang lain, Vindy pun mulai terjun ke komunitas kesehatan jiwa. Dari sana, Vindy bertemu banyak teman yang lebih mengerti keadaannya. Namun karena komunitas tersebut terdiri dari banyak gangguan jiwa yang tidak spesifik pada GB, Vindy memutuskan untuk membentuk komunitas sendiri dengan nama Bipolar Care Indonesia.
Beruntung Vindy bertemu dengan empat orang lain yang sevisi dengannya. Jadilah dia dengan keempat rekannya berjuang mengembangkan komunitas tersebut. Terhitung sejak April 2013, Bipolar Care Indonesia sudah menggelar beberapa kegiatan, antara lain konseling untuk membantu sesama penyandang GB.
"Aku juga merasa beruntung aku pernah belajar kedokteran, sehingga aku mengerti dari segi kesehatannya, punya banyak kenalan dokter yang bisa membantu komunitas ini," ujarnya.
Vindy yang awalnya merasa kedokteran merupakan jalan hidupnya perlahan mulai membuka diri untuk menggali bakatnya yang lain, yaitu seni melukis. Dengan melukis, dia bisa menyalurkan kegundahannya maupun rasa senangnya. Seni, kata dia, merupakan terapi yang baik untuk GB.
Gayung bersambut, karya-karya Vindy pun mendapat pengakuan. Terbukti dengan keikutsertaan karyanya di berbagai pameran seni.
Tugas mulia menjadi dokter mungkin bukan menjadi jalan Vindy, namun dengan semangatnya yang terus memijar, dia bisa terus membantu orang lain. Bukankah tujuan menjadi dokter juga adalah untuk membantu orang lain?
Anda sedang membaca artikel tentang
Hidup Penuh Semangat dengan Gangguan Bipolar
Dengan url
http://inadequatechildnutrition.blogspot.com/2013/09/hidup-penuh-semangat-dengan-gangguan.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Hidup Penuh Semangat dengan Gangguan Bipolar
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Hidup Penuh Semangat dengan Gangguan Bipolar
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar