KOMPAS.com - Baron de Montesquieu (1689-1755), seorang pemikir Perancis, pada tahun 1748 menerbitkan buku berjudul L'esprit des Lois, Roh Hukum. Dengan ketajaman pikiran dan penanya, Montesquieu mengoreksi Monarki Bourbon yang mengekang rakyat.
Pemisahan kekuasaan diperkenalkan Montesquieu. Kekuasaan eksekutif, legislatif, dan juga legislatif, kata Montesquieu, tak boleh di satu tangan karena berpotensi menumbuhkan tirani. Montesquieu menjawab Sang Raja Louis XIV, yang konon bersabda, "L'État, c'est moi," Akulah negara.
Dijiwai pemikiran Montesquieu, ada baiknya kita menyeruput kopi lalu "menikmati" debat DPR dan pendukung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
"Serangan balik" DPR telah menyasar salah satu syarat hakim konstitusi, yakni paling singkat tujuh tahun tak menjadi anggota partai politik (Pasal 15 Ayat 2 Huruf i Perppu MK).
"Itu bagaimana dengan pengangkatan Pak Patrialis oleh Presiden?" kata Ketua Fraksi Partai Hanura DPR Sarifuddin Sudding.
Patrialis Akbar memang diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Hakim Konstitusi melalui Keputusan Presiden No 87/2013 tertanggal 22 Juli 2013. Padahal, Patrialis belum tujuh tahun hengkang dari dunia politik karena tahun 2004-2009 masih Ketua Fraksi PAN MPR.
Hari-hari ini, cengkeraman parpol makin kuat. Bukan hanya bagi-bagi kursi di di DPR, melainkan parpol juga bagi-bagi kekuasaan di beberapa kementerian yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, yang idealnya dipimpin seorang teknokrat.
Perppu MK mungkin tak berlaku surut, tetapi Keppres No 87 terkait pengangkatan Patrialis ibaratnya masih hangat. Seleksi Patrialis masih menyisakan gugatan yang diajukan masyarakat sipil di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Tahun 2008 Adnan Buyung Nasution memimpin Pansel bentukan Dewan Pertimbangan Presiden untuk memilih hakim konstitusi yang diajukan Presiden. Namun, seleksi terakhir hakim konstitusi oleh Presiden justru memperlihatkan kemunduran dengan tak meminta masukan masyarakat.
Andai eksekutif ketika itu mendengarkan masukan masyarakat sipil, maka tidak akan ada amunisi bagi "serangan balik" dari DPR. Tidak akan ada kecurigaan-kecurigaan berbentuk pertanyaan-pertanyaan retorika. Tidak juga dicibir ketika seolah-olah eksekutif memandang sebelah mata hakim konstitusi dengan latar belakang parpol karena justru eksekutif pernah menjilat air ludahnya sendiri.
Sekali lagi, serangan balik dari Senayan bolehlah sesekali dilihat secara positif. Itulah wujud check and balance yang dipopulerkan Montesquieu. Serangan kiranya juga akan mendewasakan Perppu MK, utamanya demi keberlangsungan negara hukum Indonesia. (HARYO DAMARDONO)
Editor : Caroline Damanik
Anda sedang membaca artikel tentang
Ada Kejanggalan dalam Pengangkatan Patrialis oleh Presiden
Dengan url
http://inadequatechildnutrition.blogspot.com/2013/10/ada-kejanggalan-dalam-pengangkatan.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Ada Kejanggalan dalam Pengangkatan Patrialis oleh Presiden
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Ada Kejanggalan dalam Pengangkatan Patrialis oleh Presiden
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar