Si Kuning di Antara Orang Jar

Written By bopuluh on Selasa, 22 Oktober 2013 | 22.05

MATAHARI hampir berada di atas kepala. Udara yang panas membuat lorong-lorong jalan kampung di Desa Nafar, Pulau Wokam, Kepulauan Aru, Maluku, siang pertengahan Juni itu sepi. Ridolf Selly (29) berdiri di depan pintu rumah bertelanjang dada. Sesekali ia menengok ke dalam rumah, mengawasi anaknya yang tidur siang dalam ayunan.

Berbeda dengan warga Aru atau orang Jar pada umumnya yang memiliki ciri fisik seperti warga Papua, kulit Ridolf lebih terang dan matanya lebih sipit. Ridolf memang memiliki darah China. Perkawinan campur antarawarga keturunan China dan warga Aru yang sudah berlangsung beberapa generasi membuat perbedaan fisik itu hanya akan terlihat jika diamati secara teliti.

Raut wajah keturunan China itu lebih terlihat pada ibu Ridolf, Martenci Chong (62). Martenci terlahir dari bapak asli China bernama Teng Lee dan ibu warga asli Aru. Meski memiliki marga China, Martenci lebih sering memakai marga Aru, yaitu Jerwi. Suami Martenci juga memiliki garis keturunan China. Namanya Alexander The (75) alias Alexander Selly. Selly adalah nama marga di Aru.

"Kami resmi menjadi warga negara Indonesia sejak 1975," kata Martenci.

Karena penggunaan marga China ketika itu dilarang, warga akhirnya menggunakan nama-nama marga khas Aru. Walau zaman sudah berubah, tidak ada keinginan untuk menggunakan kembali marga China mereka.

Dari sekitar 200 keluarga di Nafar, hanya empat keluarga yang memiliki garis keturunan China. Nafar yang ada di Pulau Wokam, dapat ditempuh sekitar 1,5 jam dengan perahu motor dari ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, Dobo, yang ada di Pulau Wamar.

Membaur

Kini, banyak warga berdarah China yang sudah tak paham lagi asal usulnya karena pembauran yang terjadi sejak dulu. Para orang tua juga jarang mengisahkan asal usul atau leluhur mereka. Kondisi ini pula yang dialami Ridolf, bungsu dari 10 bersaudara yang menikahi perempuan asli Aru.

Pekerjaan Martenci, ayah, maupun suaminya sama seperti pekerjaan umumnya warga Aru, yaitu berladang atau mencari hasil laut, bukan berdagang seperti warga keturunan Tionghoa di Nusantara.

"Tidak ada satu pun warga keturunan yang berdagang di sini," tambah Ridolf.

Pekerjaan itu juga dijalani warga keturunan China yang ada di kampung-kampung lain di Kepulauan Aru. Hanya warga China di Dobo saja yang biasanya berdagang dengan membuka toko atau kios.

Bahasa mereka juga sama seperti warga Aru lainnya. Jarang di antara warga keturunan yang masih bisa berbahasa Mandarin. Rumah mereka pun hampir sama dengan rumah warga lainnya, tak ada pernak-pernik khas China.

Namun, sejumlah tradisi Tionghoa tetap dilakukan sebagian warga keturunan meski mereka telah memeluk agama Kristen, seperti membakar hio untuk menghormati leluhur atau membangun makam dengan ukuran besar. Kumpul-kumpul dengan sesama warga Tionghoa pun masih dilakukan walau sangat jarang.

"Kumpul-kumpul biasanya di Dobo," kata Martenci yang mengaku belum pernah bepergian keluar dari Kepulauan Aru. Ini pula yang membuat ia tak memiliki keinginan menelusuri jejak leluhurnya, apalagi kembali ke negeri leluhurnya.

Jejak China di Kepulauan Aru juga mudah ditemukan di Dobo. Di kota ini juga ditemukan kawasan pecinan yang disebut masyarakat setempat sebagai Kampung China. Kampung ini berada di dekat pelabuhan dan menjadi pusat ekonomi di Aru.

Walau namanya Kampung China, seluruh bangunan di wilayah itu sama seperti bangunan lainnya di Dobo, bangunan sederhana khas pelosok Indonesia timur, yaitu berdinding batu dan beratap seng. Hanya sebuah kelenteng sederhana yang terkunci rapat yang menandakan ada warga Tionghoa di daerah itu.

Kapan kedatangan pasti mereka ke Aru, tak ada data pasti. Boy Alexander Darakay dalam Orang Cina di Aru (2012) menulis berbagai kemungkinan kedatangan orang China di Aru, mulai dari zaman Dinasti Han (206 Sebelum Masehi-24 Masehi) yang mengabarkan pelayaran orang China mencari mutiara ke Aru atau sebutan Janggi oleh pedagang Sriwijaya yang merujuk pada Papua dan anggapan Aru bagian Papua.

APC Sol MSC dalam Sejarah Gereja Katolik di Kepulauan Aru (2002) menyebut setelah Banda dan Aru ditinggalkan Pemerintah Hindia Belanda pada 1806, orang China dan orang Makassar pun kembali berdagang di Aru.

Jekman Wirajaya alias Kucaw Oie (60), salah satu masyarakat keturunan China di Dobo, mengatakan, jumlah warga China yang datang ke Aru makin banyak saat terjadi Revolusi China di tahun 1911. Mereka berasal dari suku Hokkien di pesisir selatan Daratan China. Mereka datang ke Aru untuk berburu produk hasil laut, terutama kerang mutiara serta burung cenderawasih.

Saat ini, jumlah warga keturunan China di Kepulauan Aru diperkirakan 20 persen dari sekitar 85.000 jiwa penduduk Aru. Sebagian besar dari mereka terkonsentrasi di sekitar Dobo dan berada di tempat-tempat yang strategis untuk menjalankan perniagaan.

Sebagian warga keturunan China ini pun masuk dalam kehidupan politik. Sejak 1970-an, ada yang menjadi polisi, tentara, jaksa, hingga kepala daerah. (Pascal S Bin Saju/M Zaid Wahyudi)

Editor : I Made Asdhiana


Anda sedang membaca artikel tentang

Si Kuning di Antara Orang Jar

Dengan url

http://inadequatechildnutrition.blogspot.com/2013/10/si-kuning-di-antara-orang-jar.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Si Kuning di Antara Orang Jar

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Si Kuning di Antara Orang Jar

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger