Muh. Ma'rufin Sudibyo*KOMPAS.com - Bulan suci Ramadhan 1434 H di manca negara tak hanya berkutat di seputar kapan awal Ramadhan bermula. Tetapi, juga durasi berpuasa setiap harinya di sepanjang bulan suci ini. Indonesia yang terletak di kawasan tropis, variasi durasi puasanya sepanjang tahun Masehi (Tarikh Umum) relatif kecil. Berbeda dengan umat Islam yang tinggal di kawasan sub tropis, khususnya yang berdekatan dengan garis lingkar kutub baik kutub utara maupun kutub selatan. Kawasan ini akan menjalani durasi puasa yang cukup ekstrim, baik terlalu panjang maupun terlalu pendek.
Misalnya, di Liverpool (Inggris). Umat Islam di sana harus menjalani ibadah puasa yang durasinya cukup ekstrim yakni 18 hingga 19 jam per harinya sepanjang bulan suci Ramadhan 1434 H ini. Mereka sudah harus berpuasa setelah masuk waktu Shubuh selepas pukul 01.00 waktu setempat dan baru berbuka puasa saat memasuki waktu Maghrib selepas pukul 20:00 waktu setempat dalam konteks normal. Durasi ini jika tanpa penyesuaian dengan jam musim panas (daylight saving time).
Sebaliknya, umat Islam di Auckland (Selandia Baru) menjalani ibadah puasa Ramadhan 1434 H dengan durasi 11 hingga 12 jam per harinya. Mereka mulai berpuasa jauh lebih lambat daripada Liverpool karena waktu Shubuh baru tiba selepas pukul 06.00 waktu setempat dan berbuka puasa jauh lebih cepat karena waktu Maghrib telah menjelang selepas pukul 17:00 waktu setempat.
Bagi kita di Indonesia yang sedang menikmati puasa Ramadhan 1434 H dengan durasi rata-rata 13 jam per harinya, durasi puasa yang terlalu panjang di Liverpool ataupun terlalu pendek di Auckland tentu terasa aneh, bahkan mungkin ajaib. Bagaimana durasi puasa yang ekstrim seperti itu bisa terjadi dalam bulan suci Ramadhan 1434 H ini?
Gerak semu tahunan
Dasar dari ibadah puasa Ramadhan dan waktu shalat adalah serupa, yakni sama-sama mengacu pada peredaran semu harian Matahari di langit setempat. Puasa Ramadhan secara harfiah dimulai pada saat fajar senyata menyingsing di cakrawala timur, yakni bertepatan waktunya dengan awal Shubuh. Dan, berakhir pada saat Matahari tepat terbenam sempurna di cakrawala barat, yang bersamaan dengan waktu Maghrib.
Peredaran semu harian Matahari memiliki siklusnya yang khas dan menjadi dasar dari waktu Matahari (waktu istiwa'), yang pada gilirannya dapat pula dikonversi menjadi waktu sipil yang umum digunakan pada masa kini dalam rupa waktu universal (UTC) atau yang dulu dikenal sebagai waktu Greenwich ataupun waktu lokal seperti di Indonesia dengan WIB (UTC+7), WITA (UTC+8) dan WIT (UTC+9). Kini, waktu-waktu shalat harian dan jadwal imsakiyah Ramadhan lebih populer dinyatakan dalam waktu sipil ketimbang waktu Matahari.
Gerak semu harian Matahari sangat dipengaruhi oleh posisi proyeksi Matahari di muka Bumi. Sementara proyeksi ini selalu dinamis dari waktu ke waktu akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi yang menghasilkan gerak semu tahunan Matahari. Inilah penyebab muka Bumi secara umum terbagi menjadi tiga kawasan berbeda terkait panjang siang, yakni selisih antara terbit hingga terbenamnya Matahari bagi langit setempat. Ketiganya adalah kawasan tropis, sub tropis dan kutub.
Kawasan tropis berada di antara garis lintang 23,44 LU hingga 23,44 LS dan memiliki panjang siang relatif stabil dengan variasi yang kecil. Sementara kawasan kutub, yang terletak di antara garis lintang 66,44 hingga 90 LU di utara dan 66,44 hingga 90 LS di selatan, memiliki panjang siang sangat tak-stabil dengan variasi yang luar biasa besar.
Dan kawasan sub tropis, yang terjepit di antara kawasan tropis dan kutub, memiliki variasi panjang siang yang besar.
Gerak semu tahunan Matahari pada satu sisi menghasilkan fenomena unik seperti saat Matahari berada di atas kiblat. Di sisi lain, gerak yang sama juga berpengaruh besar terhadap panjang siang bagi kawasan sub tropis dan kutub.
Saat Matahari tepat berada di atas khatulistiwa, yakni pada 20/21 Maret dan 22/23 September, panjang siang di seluruh kawasan adalah sama sehingga hari-hari tersebut dikenal sebagai equinox. Namun, begitu Matahari mulai beringsut ke utara mulailah panjang siang belahan Bumi utara meningkat seiring berlangsungnya musim panas.
Puncaknya terjadi pada 20/21 Juni saat Matahari persis di atas garis lintang 23,44 LU. Saat itu, kutub utara mengalami siang sepanjang 24 jam per hari, dimana Matahari terus-menerus nampak di langit bahkan pada jam-jam yang seharusnya tergolong malam hari. Sementara bagi kawasan sub tropis utara, panjang siangnya mencapai maksimum.
Sebaliknya, bagi kutub selatan panjang siangnya adalah nol sehingga Matahari tak pernah terlihat meski pada jam-jam yang seharusnya tergolong siang hari. Dan bagi kawasan sub tropis selatan, panjang siangnya mencapai minimum. Kondisi serupa, namun berkebalikan letaknya, akan terjadi tatkala Matahari beringsut ke selatan hingga mencapai garis lintang 23,44 LS pada 21/22 Desember. Kali ini giliran belahan Bumi selatan yang panjang siangnya melonjak.
Estimasi relatif
Mari fokuskan ke kawasan sub tropis, misalnya Liverpool yang berada di garis lintang 53,4 LU. Liverpool memiliki panjang siang dengan variasi cukup besar mulai dari sependek 7,6 jam (Desember) hingga sepanjang 17,2 jam (Juni). Bandingkan dengan Jakarta yang variasinya hanya berkisar antara 11,8 jam (Juni) hingga 12,6 jam (Desember) saja.
Selain variasi panjang siang yang besar, Liverpool juga mengalami fenomena unik lainnya yakni menghilangnya awal waktu Isya dan Shubuh sejak akhir Mei sampai pertengahan Juli. Saat itu, langit Liverpool tetap bergelimang cahaya sepanjang malam sejak Matahari terbenam hingga akhirnya terbit kembali keesokan paginya. Maka, jika mengandalkan posisi Matahari senyata bagi langit Liverpool, waktu Isya dan Shubuh tak terdefinisi sehingga akibatnya durasi puasa turut menghilang. Ini tidaklah dikehendaki mengingat waktu-waktu shalat tetap selalu di manapun kita berada.
Ada sejumlah pendekatan dan usulan guna mengatasi persoalan ini. Mlai pendapat mayoritas yang menyarankan untuk mengacu pada daerah lain dalam satu garis bujur yang sama namun jauh di selatan sehingga masih memiliki waktu Isya dan Shubuh aktual. Ada pula yang menyarankan untuk menggunakan waktu Isya dan Shubuh di kota suci Mekkah, meski pendapat ini hanyalah minoritas.
Yang termutakhir adalah keputusan bersama Komisi Fatwa MWL (Moslem World League) dan ICOP (International Crescent Observation Project) tentang waktu-waktu shalat bagi daerah lintang tinggi khususnya yang terletak di antara garis lintang 48,6 hingga 66,6 baik di belahan Bumi utara maupun selatan.
Keputusan tersebut lahir setelah melewati empat rangkaian pembahasan berturut-turut pada 2008-2009 di Riyadh dan Makkah (Saudi Arabia) serta Brussels (Belgia).
Keputusan bersama tersebut menyarankan metode estimasi lokal relatif bagi daerah-daerah yang secara aktual kehilangan waktu-waktu Isya dan Shubuh. Dalam metode ini, panjang malam, yakni selisih waktu antara terbenamnya Matahari hingga terbit kembali keesokan paginya, sepanjang setahun Masehi (Tarikh Umum) perlu diketahui.
Demikian halnya panjang Isya (selisih waktu antara awal Isya dan terbenamnya Matahari) serta panjang Shubuh (selisih waktu antara awal Shubuh dan terbitnya Matahari) untuk kurun waktu yang sama. Dengan mengecualikan hari-hari dimana waktu Isya menghilang, maka fraksi panjang Isya (yakni panjang Isya dibagi panjang malam) perlu diketahui setiap hari untuk kemudian dicari rata-ratanya dalam setahun.
Waktu Isya aktual yang hilang, kemudian digantikan oleh waktu Isya estimatif dalam bentuk fraksi rata-rata panjang Isya' dikalikan panjang malam hari itu lalu ditambahkan waktu terbenamnya Matahari. Hal serupa juga berlaku bagi waktu Shubuh aktual yang hilang dengan sedikit penyesuaian.
Metode inilah yang kini diadopsi oleh komunitas-komunitas Muslim di Eropa khususnya di bagian utara. Termasuk di Liverpool. Maka lima hari pertama Ramadhan 1434 H bagi Liverpool, yang sebenarnya tak terdefinisi karena hilangnya waktu Isya' dan Shubuh, tetap memiliki jadwal imsakiyah dan durasi puasanya sendiri.
* Muh Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen.
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary